Jakarta,Bidik86.com – Ledakan yang terjadi di Masjid SMAN 72 Jakarta saat salat Jumat, yang melukai 54 orang, tidak mengejutkan Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan.
Diketahui, bom rakitan atau molotov yang ditemukan di lokasi diduga dibawa oleh siswa tersebut.
Polisi menemukan tiga jenis bom di lokasi, dua di antaranya sempat meledak.
Sekolah yang menjadi lokasi kejadian diketahui berada di kompleks Komando Daerah Maritim (Kodamar) TNI AL, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Menanggapi insiden itu, Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan, mengaku tidak terkejut. Menurutnya, kasus seperti ini sudah menjadi pola yang pernah terjadi sebelumnya.
“Beberapa waktu lalu, Densus 88 sudah mengamankan puluhan pelajar di berbagai daerah yang terpapar paham radikalisme.
Bahkan ada yang masih duduk di bangku SMP,” ujar Ken dalam keterangannya, Jumat (8/11).
Menurut Ken, insiden ini menguatkan dugaan bahwa kelompok terorisme kini memanfaatkan remaja rentan yang mencari jati diri, khususnya korban perundungan (bully), sebagai target perekrutan utama melalui media sosial.
“Motif di balik ledakan di masjid sekolah tersebut adalah kekecewaan dan kemarahan akibat perundungan (bullying) terhadap terduga pelaku,” beber Ken.
Profil Pelaku Rentan dan Pola Perekrutan Baru
Dari informasi yang didapatkannya, Ken menyebut terduga pelaku dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan tertutup serta sering menjadi sasaran ejekan.
Kekurangan dan kekecewaan ini, menurut Ken, mendorong korban mencari tempat pelarian dan jati diri di media sosial.
Latar belakangnya pun beragam, ada yang karena bully di lingkungan sekolah, salah pergaulan, salah belajar agama dan ada yang dari keluarga yang broken home
Maka dari itu, pihak guru jangan cuek dan abai jika ada laporan siswa dibully, harus segera ditindaklanjuti, sebab kadang ada pihak sekolah yang sengaja menutupi, bahkan melarang siswa melapor orang tuanya jika dibully disekolah, akibatnya pelaku bully semakin merajalela, jelas Ken.
Ken menjelaskan, dari hasil pemeriksaan terhadap ponsel para pelajar yang diamankan, ditemukan banyak tayangan kekerasan dan peperangan di Timur Tengah seperti Suriah, Libya, dan Palestina.
Ia menilai hal itu menjadi bukti bahwa media sosial kini menjadi sarana utama penyebaran ideologi radikal.
*Terpapar Propaganda Lewat Media Sosial*
Menurut Ken, kelompok radikal dan teroris telah lama mengubah strategi perekrutan dengan memanfaatkan algoritma media sosial untuk menyebarkan propaganda sekaligus mencari sasaran yang mudah direkrut.
“Mereka memanfaatkan algoritma media sosial untuk menemukan target yang lemah secara psikologis seperti korban bully, broken home, atau yang sedang mencari jati diri,” jelasnya.
Ken juga menyebut bahwa dugaan motif ledakan di masjid SMAN 72 berawal dari kasus perundungan atau bullying terhadap pelaku, yang akhirnya mendorongnya melakukan tindakan nekat.
Dari informasi yang dihimpun, terduga pelaku dikenal sebagai siswa pendiam dan tertutup.
Beberapa teman sekolahnya mengaku bahwa ia kerap menjadi sasaran ejekan dan perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya.
Ken Setiawan menilai, minimnya sosialisasi dan literasi bahaya radikalisme menjadi salah satu penyebab utama paham ekstrem mudah menyebar di kalangan pelajar.
“Upaya pemerintah dalam pencegahan radikalisme masih seperti lilin, sedangkan doktrinasi kelompok radikal seperti obor yang menyala terang dan lebih gencar,” tegas Ken.
Ia mendorong agar seluruh elemen masyarakat termasuk organisasi kemasyarakatan dan lembaga pendidikan lebih aktif membumikan nilai-nilai Pancasila dan moderasi beragama untuk menangkal doktrin radikalisme.
Ken menutup dengan peringatan bahwa “virus radikalisme” bisa menjangkiti siapa saja, tanpa memandang latar belakang sosial, pendidikan, maupun profesi.
Karena itu, ia menyerukan pentingnya kewaspadaan kolektif agar kasus serupa tidak terulang, pungkasnya.(Gus)



